You need to enable javaScript to run this app.

Sebuah Kisah Guru Bahasa Jawa dari Yogyakarta

  • Minggu, 14 Juni 2020
  • admin patwa
  • 1 komentar

 
          Roda itu terus berputar. Menyusuri jalan naik turun yang berkelokan. Ditemani dinginya angin pagi, membawaku ke sebuah tempat pengabdian. SMP Negeri 4 Wates, Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tempat pengabdianku yang kedua, setelah rumah kecil dengan kehangatan keluarga sebagai tempat pengabdian pertama. Tidak membutuhkan waktu lama, kurang lebih sepuluh menit dengan laju sedang, roda itu berhenti berputar. Kugendong tas rangsel hitam yang berisi sejuta cerita dan harapan. Kugendong bersama dengan langkah kaki yang tidak pernah lelah untuk pengabdian. Berjalan menuju lorong-lorong ruang dengan disambut oleh tangan-tangan dan senyum manis penuh cinta dan kehangatan.

              Hari itu aku memulai semuanya dengan bismillah. Memberikan sedikit ilmu untuk mereka. Sedikit  tetapi tidak akan pernah berhenti. Yang sedikit semoga bermakna dan dapat menjadi sangu hidup mereka kelak nanti.  Ilmu tentang Bahasa Jawa dengan segala pitutur luhur di dalamnya. Itulah yang bisa aku berikan untuk mereka.

              Bahasa Jawa adalah mata pelajaran muatan lokal wajib yang harus diberikan di jenjang Sekolah Menangah Pertama di Yogyakarta. Adalah sebuah tantangan, di saat perkembangan jaman yang serba modern dengan teknologi cangih yang bertebaran, muatan lokal Bahasa Jawa harus bisa bersanding dan menjadi bagian. Aku harus membawa mata pelajaran Bahasa Jawa ikut ngeli (hanyut) tetapi jangan sampai keli (terhanyut). Diperlukan usaha keras dan iklas untuk menghantarkan semuanya menjadi bermakna tanpa melupakan pendidikan karakter yang ada. Dengan harapan mata pelajaran Bahasa Jawa dapat tersampaikan dengan baik dan hasil optimal serta menjadi salah satu mata pelajaran yang selalu dinanti-nantikan.

              Namaku Bethy Mahara Setyawati. Aku adalah guru Bahasa Jawa SMP Negeri 4 Wates. Aku lahir tanggal 3 April 1980 di Yogyakarta. Setelah selesai menyelesaikan belajarku di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Universitas Negeri Yogyakarta pada bulan Mei 2003, aku diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai guru Bahasa Jawa di bulan Desember pada tahun yang sama. Rasa syukur yang takterhingga selalu aku panjatkan kepada-Nya, atas semua anugrah yang diberikan. Termasuk anugrah dipertemukan dengan Sumadi, seorang guru Sekolah Dasar yang menjadi suamiku dan dianugrahi anak lelaki sholeh, Dzikri Adira Suta yang sekarang belajar di bangku Sekolah Dasar. Untuk mensyukuri semuanya, aku harus berupaya memberikan yang terbaik, bermanfaat, dan penuh cinta kepada keluarga dan tentu saja kepada peserta didik di sekolah di dalam proses pembelajaran. Aku harus berusaha menjadi sosok “guru” digugu lan ditiru (dapat dicontoh), yang gegulang undhaking rasa utama (mengajarkan kebaikan)yang dapat menginspirasi dan menghantarkan dalam kebermanfaatan.  Aku sebagai sosok yang digugu lan dituru harus berusaha untuk bisa diteladani oleh peserta didik dalam bertutur dan bertingkah laku. Aku harus berusaha menjaga diri untuk dapat diteladani sesuai dengan ungkapan Jawa, “ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung busana, ajining awak dumunung ing tumindak”. Tidak ada kata-kata kasar bahkan hinaan dan tidak ada tingkah laku yang tidak sopan. Hanya ada komunikasi yang hangat dan saling menghargai, sehingga dalam menyampaikan pembelajaran akan dengan baik diterima dan apa yang disampaikan akan dengan mudah membekas dalam ingatan.

              Tidak hanya memberikan contoh dalam bertutur dan bertingkah laku saja, tetapi dalam hal pemberian tugas-tugas yang berhubungan dengan materi pembelajaran, aku juga berusaha untuk tidak hanya menyuruh peserta didik dalam berkarya, tetapi memberikan contoh nyata sebuah karya. Karya-karya tersebut  aku wujudkan dalam bentuk buku seperti buku paket mata pelajaran Bahasa Jawa, buku-buku penunjang proses pembelajaran Bahasa Jawa, buku karya sastra novel, dongeng, cerpen, geguritan, dan lain sebagainya.  Karya-karya yang aku hasilkan adalah salah satu contoh dan upaya memotivasi peserta didik untuk selalu belajar dan sebagai bentuk inspirasi agar peserta didik juga mengikuti dalam menghasilkan karya untuk pendidikan. Tidak berhenti di situ. Sebagai seorang guru, aku juga harus selalu belajar, meraih prestasi di berbagai lomba. Apa yang aku peroleh dapat sebagai motivasi dan inspirasi peserta didikku agar tidak berhenti belajar untuk mencapai prestasi yang membanggakan. Untuk itu, aku juga selalu memberikan waktuku untuk mendampingi, memberikan bimbingan, dan melatih mereka dalam meraih prestasi khususnya yang berhubungan dengan mata pelajaranku, Bahasa Jawa.

              Semua upaya yang telah aku lakukan, hanya untuk memberikan bekal kepada peserta didik untuk srawung bersama teman-temannya, bersama masyarakat, dan juga di dalam keluarganya. Semua yang aku lakukan karena ibadah dan kasih sayang seorang guru kepada peserta didiknya “asok elmu kanthi kebak ing tresna”. Semoga yang sedikit, penuh dengan  kebermanfaatan dan keberkahan.

              Hari itu, hari Jumat tanggal 25 Februari 2019. Seperti biasanya ketika jam mengajarku kosong, aku menuju ruang guru untuk sejenak beristirahat mempersiapkan jam mengajarku selanjutnya. Aku mengajar 32 jam per minggu, dengan 2 jam pertemuan setiap kelas. Ketika aku masuk di ruang guru, seorang teman guru memberitahuku bahwa aku ditimbali Bapak Kepala Sekolah. Aku segera menuju ruangannya. Sudah menunggu seorang  Bapak Kepala Sekolah yang masih muda tetapi penuh wibawa dan berkharisma, Bapak Tugino, M.Pd. Beliau mempersilakan aku duduk dan mulailah beliau berbicara dengan bijaksana. Apa yang dibicarakan kala itu  sangat mengagetkanku. Membuat detak jantungku menjadi kencang. Membuat keringatku sedikit menetes berjatuhan. Tidak sedikitpun terbesit dalam hati dan pikiran. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran Lomba Guru Berprestasi SMP tingkat Kabupaten dan wakil dari Kecamatan Wates belum ada perwakilannya. Berdasarkan kesepakatan Kepala-kepala SMP yang ada di Kecamatan Wates, aku yang ditunjuk untuk mewakilinya. Begitulah yang beliau sampaikan. Seketika itu aku hanya bisa tersenyum sedikit menahan sambil berkata bahwa, “mohon maaf, Pak.....jangan saya, saya tidak bersedia”. Lalu aku berfikir keras mencari sejuta alasan yang tepat kenapa aku tidak bersedia. “Saya tidak mampu, Pak”, “Ilmu saya masih kurang, Pak”, “Saya belum siap, Pak”, “Gantian teman yang lain, Pak”, dan alasan lainnya. Mendengar jawabanku, seketika itu Bapak Kepala Sekolah dengan bijak dan jiwa kepemimpinannya memberikan beberapa alasan, gambaran, dan permohonan agar aku mau menerimanya. Akupun tetap menolaknya sampai beberapa saat. Tiba-tiba aku merasa betapa tidak tega mendengarnya, tidak tega melihat beliau berkata-kata. Betapa sombong jika tetap menolaknya, betapa tidak menghormati dan tidak menghargainya ketika aku tetap tidak melaksanakan perintahnya. Sendika dhawuh, mungkin kata ini yang telah menguatkanku, mendorongku, menyadarkanku atas alasan yang kubuat pada saat itu. Kemudian aku tersadar bahwa seharusnyalah aku hormat dan menuruti perintah pimpinanku. Aku menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya aku tersenyum dengan tidak lagi begitu menahan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk matur, “inggih Pak, sendika.” Dengan niat bismillah, akhirnya aku menerima dhawuh dari Kepala Sekolahku dan seketika itu aku didaftarkan sebagai peserta Guru Berprestasi SMP Tingkat Kabupaten, karena hari itu adalah hari terakhir pendaftaran.

              Detak jarum jam dinding di sudut ruangan itu terus berjalan. Berjalan tanpa lelah. Terus mengiringi seluruh aktivitasku di masyarakat, rumah, dan sekolah. Sebenarnya aktivitas tersebut adalah yang biasa aku lakukan, tetapi kala itu ada sedikit tambahan. Aku harus mempersiapkan semuanya untuk lomba guru berprestasi tingkat Kabupaten. Sebetulnya aku pernah mengikuti lomba yang sama di tahun 2012 atas dhawuh bapak Kepala sekolahku kala itu, Bapak Drs. Sunaryo. Kala itu aku dipanggil menghadap beliau Bapak Drs. Sunaryo di ruang Kepala Sekolah. Aku diminta untuk mewakili sekolah maju guru berprestasi di Kabupaten Kulon Progo. Kala itu aku diberi waktu satu hari untuk berfikir. Bapak Drs. Sunaryo ngendika, “Bu Bethy saya beri waktu satu hari untuk memberikan jawaban apakah bersedia mengikuti lomba guru berprestasi atau tidak, saya tunggu jawabannya besok pagi. Tetapi jawaban yang saya tunggu adalah jawaban iya.” Seketika itu aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya kata sendika dhawuh. Kata sendika dhawuh memang kerap sekali aku ucapkan. Ketika diberi tugas dan lainnya, aku berusaha untuk melaksanakannya. Aku yakin di dalam kata sebut terselip doa yang sangat kuat, sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar, sukses, dan bermanfaat.  Alhamdulillah di lomba guru berprestasi tingkat Kabupaten Kulon Progo tahun 2012 kala itu,aku mendapatkan juara dua. Rasa syukur tidak pernah aku lupakan, walaupun peringkat kedua, prestasi itu adalah  membanggakan. Matur nuwun, Bapak Drs.Sunaryo dan bapak ibu guru semua.

              Satu kesempatan ditunjuk mengikuti lomba guru berprestasi tahun 2012 kala itu, membuatku menjadi sering mengikuti berbagai lomba dengan jenis yang berbeda di tahun-tahun selanjutnya. Aku mengikuti Lomba Menulis Artikel Perpustakaan dan Budaya Jawa Kategori Guru tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY dan berhasil mendapatkan peringkat pertama. Di tahun 2015, aku mengikuti Lomba Menulis Cerita Berbahasa Jawa Kategori Umum, Propinsi DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Barat,  yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY dan mendapatkan juara pertama. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 2017 dan 2018, aku berhasil sebagai nominator Lomba Penulisan Novel Berbahasa Jawa, pada Kegiatan Pembinaan, Pengembangan Bahasa dan Sastra Program Sejarah Bahasa Sastra dan Permuseuman Dinas Kebudayaan DIY. Selain itu, tahun 2018 adalah tahun terindah yang pernah aku miliki. Aku berhasil menjadi peringkat kelima Lomba Menulis Naskah Macapat bagi Guru SLTP dan SLTA Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, peringkat pertama Lomba Menulis dalam rangka HUT PGRI ke 73 yang diselenggarakan oleh PGRI Kabupaten Kulon Progo DIY, dan peringkat pertama Festival Guru Menulis tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar PGRI. Pada Festival Guru Menulis ini, penghargaan yang diberikan, disampaikan langsung oleh Bapak Presiden Joko Widodo, pada acara Hari Guru Nasional di Stadion Pakansari Bogor. Matur nuwun kepada Bapak Guryadi, M.Pd., Kepala Sekolahku sebelum Bapak Tugino, M.Pd., yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan sehingga aku mendapatkan anugrah bertemu Bapak Presiden di tahun 2018 kala itu. Teringat cerita di tahun 2017 di masa pimpinan Bapak Guryadi, M.Pd sebagai Kepala Sekolahku. Suatu hari aku dipanggil di ruang beliau. Beliau ngendika kalau aku harus maju lagi untuk lomba guru berprestasi setelah di tahun 2012 maju dan meraih juara kedua, karena belum juara satu. Kala itu aku benar-benar menolaknya karena alasan sudah pernah mengikuti dan gantian guru yang lain. Pada saat itu beliau ngendika, “Ya sudah kalau tidak mau, tetapi besok Bu Bethy harus siap untuk lomba yang lainnya”. “Insya Allah, sendika dhawuh, Pak...” jawabanku kala itu. 

              Tanggal 18 Juli 2018, kala itu ada whatsapp dari Bapak Guryadi, M.Pd. Beliau pada tahun 2018 sudah tidak lagi menjabat Kepala Sekolah di SMPN 4 Wates, sudah digantikan oleh Bapak Tugino, M.Pd. Isi whatsapp adalah aku diminta untuk mengikuti lomba Festival Guru Menulis. Beliau memberikan motivasi agar aku segera menulis dan mengikuti lomba tersebut. Betapa bersyukur dan terharunya kala itu, walaupun sudah bukan Kepala sekolahku tetapi beliau masih teringat dan selalu memberikan dukungan, bimbingan, dan ilmunya kepadaku, bahkan pada saat proses maju guru berprestasi 2019 sampai dengan sekarang. Dalam jawaban whatsapp kala itu aku menjawab, “Inggih Pak. Insya Allah.” Ternyata tidak hanya sampai di situ, beliau ngaruhke, memberi bimbingan untuk hasil tulisanku. Begitu juga dengan Kepala Sekolahku, Bapak Tugino, M.Pd. yang memberikan bimbingan agar bagus hasil tulisanku. Alhamdulillah aku berhasil mendapatkan juara I Festival Guru Menulis tingkat nasional. Semua karena anugrah Allah SWT, doa orang tuaku, bimbingan beliau-beliau, suami dan anakku, bantuan teman-teman guru,  dan siswa-siswaku terutama seorang siswa bernama Ahmad Sayyiduddin (Asip), ketua OSIS SMPN 4 Wates kala itu, yang ikut mencari buku-buku yang akan aku gunakan untuk menulis. Aku teringat, kala itu aku mengantarkan Asip mengikuti lomba sesorah di Yogyakarta. Dua hari setiap pulang dari lomba, aku memboncengkannya untuk aku ajak berburu buku di beberapa toko buku yang ada di Yogyakarta. Tidak lelahnya dia mengikutiku, ikut menanyakan ke penjual buku, “Ada buku tentang ini, Pak...ada buku ini, Bu...”. Terima kasih takterhingga untuk semuanya. Dan pada hasil juara I Festival Guru Menulis tingkat nasional ini, aku diundang oleh Pengurus Besar PGRI puast untuk menerima penghargaan dari Bapak Presiden Joko Widodo pada saat pelaksanaan HUT PGRI di Stadion Pakansari Bogor. Aku bisa duduk selang 3 kursi satu deret dengan Bapak Presiden, aku bisa menerima penghargaan dan berjabat tangan dengan dari beliau. Alhamdulillah untuk anugrah yang diberikan Allah SWT.

              Oleh karena itu untuk maju lomba guru berprestasi di tahun 2019, aku harus mempersiapkan semuanya dengan maksimal. Ada sebuah kata bijak, ketika kita ikut dalam ajang perlombaan, ada dua predikat yang dapat diraih yaitu “kita menang” dan “kita juara”. Kita menang jika selama proses kita berhasil mempersiapkannya dengan optimal dan terbaik. Kita juara  maka akan mendapatkan peringkat satu, dua, tiga, dan seterusnya. Tetapi tentu saja yang juara adalah mereka yang selama proses telah mempersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kala itu hanya ada kata “aku ingin menang” yang berarti aku harus mempersiapkan dengan optimal dan terbaik. Melihat kemampuanku yang masih sangat kurang dan bekalku yang masih sedikit sekali, jauh sekali harapan untuk mendapatkan juara, karena banyak orang berpendapat kalau lomba guru berprestasi adalah ajang lomba bergengsi dan puncak dari semua lomba bagi seorang guru, karena semua kompetensi diujikan. Dengan niat “aku ingin menang” menjadikan aku tidak mempunyai beban untuk juara, sehingga semuanya berjalan dengan lancar dengan bantuan semua keluarga tercinta yang ada di dekatku. Orang tuaku, suami dan anakku, kepala sekolah, teman-teman guru, bahkan peserta didikku, dan orang-orang yang ada di sekitarku. Semua tidak berhenti mendoakanku dan membantu prosesku.

              Akhirnya sederetan tes kompetensi yang diujikan di seleksi guru berprestasi tingkat Kabupaten telah aku ikuti dengan lancar. Ada sebuah cerita yang membuat aku malu dan ada perasaan tidak enak jika hal tersebut dilihat oleh teman-teman lain, apalagi sesama peserta guru berprestasi kala itu. Selain sederetan tes kompetensi, untuk persyaratan lomba guru berprestasi, aku harus membuat portofolio yang berisi semua hal yang telah aku lakukan. Aku mempersiapkan portofolio dengan maksimal. Hasilnya adalah ketika aku jilid semua berkas portofolioku, ternyata sangat tebal. Bahkan ada empat jilid tebal. Aku malu, hingga pada saatnya mengumpulkan ke Dinas Pendidikan, aku meminta tolong kepada seorang temanku, Ibu Dewi Megandari, M.Pd. untuk membawakan jilidan tebal yang aku masukkan ke dalam tas rangsel gunung supaya tidak ketahuan dan biar orang lain beranggapan bahwa portofolio itu bukan milikku tetapi milik temanku yang akan maju. Semuanya karena ada rasa tidak enak di hati. Takut dianggap ambisi untuk mengikuti. Padahal portofolio yang aku buat, adalah potret apa yang telah aku lakukan termasuk buku-buku karyaku juga aku masukkan ke dalam jilidan sehingga menjadi tebal. Semuanya hanya sebatas melakukan terbaik dan optimal.

              Hari demi hari berlalu begitu cepat. Hingga pagi itu tanggal 29 Maret 2019, aku membuka whatsapp. Ternyata banyak ucapan selamat. Seketika itu hatiku bergetar. Telapak tanganku tiba-tiba berkeringat dingin. Aku segera membaca salah satu dengan penuh rasa syukur dan gembira. Aku berhasil mendapatkan peringkat pertama di lomba guru berprestasi tingkat Kabupaten. Segera kubuka kontak telpon. Aku menelpon orang tuaku dan suamiku untuk mengucapkan terima kasih atas doa-doanya selama ini untukku. Aku menghela napas panjang. Ucapan syukur tidak henti-hentinya aku ucapkan. Apa yang aku persiapkan kala itu ternyata mendapatkan balasan. Kegembiraan yang aku rasakan tidak boleh berlarut-larut panjang. Aku harus berjuang kembali untuk mengikuti seleksi selanjutnya di tingkat propinsi. Ada setumpuk keraguan, apakah aku bisa melaluinya dengan lancar dan mendapatkan hasil seperti seleksi di tingkat kabupaten? Tetapi itu tidaklah menjadi prioritasku. Aku tetap dengan niat “aku menang”, memberikan yang terbaik dan optimal, hasil mendapatkan juara atau tidak, semua aku serahkan kepada-Nya.

              Malam itu angin berhembus kencang, ditemani bulan yang bersinar dan bintang yang berkelip menembus petangnya malam. Ketika itu aku terbangun dari kegembiraan. Aku harus cancut taliwanda, mempersiapkan kembali semuanya untuk seleksi di tingkat propinsi.  Mungkin terlihat mudah, karena dari pesertanya, hanya ada 5 orang karena Propinsi DIY terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kotamadya. Tetapi aku harus sadar, 4 temanku itu adalah orang pilihan. Mereka adalah juara satunya tiap-tiap kabupaten dan kotamadya yang tentu saja mereka juga telah mempersiapkan yang terbaik dan optimal. Hingga pada saatnya aku harus mengikuti pemilihan guru berprestasi di propinsi pada tanggal 24 sampai dengan 27 April di Hotel Tara Yogyakarta. Aku berangkat bersama kedua temanku wakil guru TK dan SD dari kabupatenku. Kami diantar oleh salah seorang pegawai Dikpora Kabupaten Kulon Progo. Beruntunglah kami, sangat diperhatikan oleh Dikpora untuk mempersiapkan semua, bahkan sebelum lomba ke tingkat propinsi, kami dibimbing, dilatih, dan diarahkan. Betapa terharu dan tidak ada kalimat lain kecuali terima kasih atas segalanya. Empat hari lamanya, aku berjuang di propinsi. Melewati sederet tes yang membuat waktuku tidak terbuang, hanya untuk belajar dan belajar. Tes tertulis dengan 4 kompetensi, tes psikologi, tes bahasa Inggris, tes wawancara, presentasi, bahkan ada satu tes yang begitu mendebarkan hati, table topic. Banyak pengalaman, ilmu, dan kesempatan yang aku dapatkan di sana. Kesempatan bertemu dengan teman-teman tangguh dari kabupaten lainnya, kesempatan bertemu dengan juri-juri hebat dari unsur kepala sekolah, pengawas, bahkan dosen-desen pilihan, dan juga kesempatan mendapatkan ilmu dan pengalaman.

              Empat hari sudah aku lewati dengan lancar. Kembali ke rutinitasku mengajar. Terbersit sedikit rasa lega di hati, aku sudah melalui dua proses yang benar-benar membuatku harus berpikir keras, bekerja pagi, siang, malam untuk mempersiapkan. Untuk hasil di propinsi aku serahkan menurut takdir-Nya. Yang terpenting dari semuanya aku sudah bekerja yang terbaik dan maksimal. Ada sebuah ungkapan, proses tidak akan mengingkari hasil. Ternyata ungkapan itu benar adanya. Atas takdir-Nya aku berhasil mendapatkan peringkat satu di propinsi. Hanya ada rasa syukur yang takterhingga atas anugrah yang diberikan Allah SWT. Lagi-lagi hanya ada ucapan terima kasih untuk orang tua, keluarga, teman-teman guru yanag tidak dapat saya sebutkan satu persatu, dan untuk anak-anakku di sekolah. Akhirnya akulah yang dipercaya untuk mewakili DIY dalam ajang lomba guru berprestasi SMP di tingkat nasional.

              Kala itu aku merenung, aku sudah berada di posisi sebagai wakil propinsi sudah sangat beruntung, karoban ing kabagyan. Tidak harus mendapatkan juara di nasional, yang terpenting melakukan terbaik dan maksimal. Ada sebuah kebanggan juga, akhirnya aku bisa membawa nama Bahasa Jawa di nasional. Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal di Yogyakarta yang mungkin dianggap tidak penting, remeh, dan tidak sejajar dengan mata pelajaran lainnya yang apalagi di ujian nasionalkan. Ada sedikit rasa di hati, ternyata Bahasa Jawa bisa lebih unggul daripada mata pelajaran lainnya. Kala itu memang di hatiku terbesit rasa bangga itu. Bangga tetapi tidak menjadi sombong, tidak meremehkan, dan tidak untuk berlebihan. Karena semua anugrah yang aku terima bukan karena aku bisa tetapi semua sudah menjadi jalan-Nya. Selanjutnya setelah ditetapkan sebagai wakil propinsi DIY maju ke tingkat nasional, Dikpora DIY mempersiapkanku bersama teman-teman wakil lainnya untuk berlomba di tingkat nasional.

              Mulailah aku mempersiapkan semuanya kembali.  Dikpora DIY memberikan bimbingan untuk kami. Sesuai jadwal bimbingan, kala itu aku berangkat mengendarai sepeda montor menuju kantor Dikpora DIY, yang jarak perjalanan dari rumah atau sekolahku kira-kira 1 jam lebih. Aku mendengarkan semua yang disampaikan oleh para narasumber yang sengaja didatangkan Dikpora DIY untuk membimbing kami Tim Gupres DIY. Semangat sekali aku menjalankan semua proses yang diberikan, senang sekali aku mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman. Tetapi tidak hanya berhenti di situ. Setelah pagi sampai sore aku diberikan bimbingan, malam harinya ketika aku sampai rumah aku harus membuka laptop kembali untuk berproses mempersiapkan semua sesuai dengan bimbingan-bimbingan yang diberikan pagi harinya. Aku tetap bekerja keras untuk itu semua, apalagi ada sebuah kalimat yang disampaikan dari pihak Dikpora DIY bahwa, “Bapak ibu, untuk proses ke nasional ini, bapak dan ibu tidak boleh terbebani untuk juara, tetapi bapak dan ibu juga tidak boleh berfikir kalau yang penting sudah maju di tingkat nasional sudah alhamdulillah, tidak boleh! Bapak dan ibu harus mempersiapkan dengan terbaik dan maksimal untuk Yogyakarta.” Kalimat itu sering terlontar, membuatku selalu teringat, terngiang-ngiang, dan mengiringi setiap jejak langkahku. Kalimat itu terdengar halus tetapi penuh harapan. Memang aku harus demikian, mempersiapkan yang terbaik dan maksimal. Tidak perlu terbebani dengan predikat juara, karena peringkat juara itu adalah hadiah terindah dari Allah SWT atas semua yang aku persiapkan dan aku lakukan. Jika aku melakukan karena ibadah dengan iklas, pasti Allah SWT akan segera membalas. Niat itulah yang aku jadikan penyemangat dalam perjalanan menuju ke nasional.

              Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, berlalu dengan penuh makna. Tidak ada hari-hariku yang terbuang sia-sia. Hanya ada penyemangatku kala itu yaitu quality time. Aku harus bisa menggunakan waktuku dengan sebaik-baiknya. Di kala aku harus menjalani bimbingan, aku harus bisa memanfaatkan dan mengambil ilmunya dengan sebaik mungkin. Di kala aku harus mengajar di sekolah, aku harus memanfaatkannya dengan maksimal. Di kala aku harus mengerjakan pekerjaan seorang ibu di rumah, aku harus menjalani dengan iklas dan penuh pengabdian. Di kala aku harus mendampingi anakku berkembang dan belajar, aku harus ada di sampingnya dengan meletakkan semua kesibukannku dalam persiapan. Di kala aku harus bangun tengah malam di saat suami dan anakku sudah terlelap tidur, aku harus  segera membuka laptop, bekerja secara optimal. Dan di kala aku harus beristirahat untuk tidur, aku juga melakukannya dengan penuh kegembiraan. Semua atas ijin-Nya, aku melakukan dengan senang dan quality time. Hingga pada saatnya aku harus mengumpulkan semua berkas portofolio yang aku persiapkan, alhamdulillah aku selesai tepat waktu dan segera aku kirimkan.

Rasa lega tidak bisa aku gambarkan kala itu. Tinggal persiapan belajar, menghadapi sederetan tes pada hari H pelaksanaan di Jakarta dan ada satu persiapan bersama teman-teman TIM Gupres Nasional DIY yaitu tallent show. Menurut pelaksanaan guru berprestasi tahun-tahun sebelumnya, ketika berada di Jakarta, ada sebuah kegiatan yaitu tallent show. Oleh karena itu Dikpora DIY mempersiapkan kami berlatih menari untuk tallent show pada acara di Jakarta. Senang sekali rasanya, aku yang sama sekali tidak bisa menari, harus berlatih untuk menari. “Luwes”, kata itu sering dilontarkan teman-temanku melihat gerakanku dalam menari. Sebetulnya mungkin akan mengatakan lucu karena yang menari mempunyai tubuh yang sedikit over weight (he...he...he....aku sedikit tertawa dan tetap bersyukur atas semuanya)Tetapi karena mereka orang Jawa, tidaklah tega mereka mengutarakan apa adanya, sehinga keluarlah kata luwes dari mereka yang artinya lemah gemulai terlihat pantas di dalam mengikuti gerakan tarian. Ya...begitulah kami orang Jawa.

              Tinggal beberapa hari kakiku menapakkan di tanah Jakarta. Semua persiapan sudah aku lakukan. Berpamitan dengan orang tua dan keluarga, berpamitan kepada pejabat Dikpora kabupaten maupun propinsi. Tidak lupa berpamitan kepada teman-teman guru juga peserta didikiku di sekolah. Ada rasa haru di kala itu. Semua mendukungku, semua mendoakanku. Bismillah semoga semua berjalan lancar, mendapatkan hasil terbaik, dan selalu dalam lindungan-Nya.

              Malam itu berjalan semakin larut, suara-suara hewan malam saling bersaut, menunjukkan kehadirannya di tengah-tengah  gelapnya malam yang semakin mencekam, di tengah-tengahnya malam yang semakin sepi tanpa kehadiran orang berlalu-lalang.  Seakan-akan hewan-hewan malam ingin membuat suasana berubah ramai penuh teriakan. Seolah-olah berdatangan ingin menemaniku, ingin mendampingiku yang masih setia memegang sebuah buku. Malam itu aku belajar. Mempelajari semua materi untuk persiapan. Aku berusaha keras untuk membaca, menghafalkan, memahami semua tulisan, tetapi dengan umurku yang sudah 39 tahun kala itu, aku merasakan sudah agak sulit untuk belajar. Aku menghela napas panjang, di dalam hati aku sempat berujar, ternyata masa muda memang harus benar-benar dimanfaatkan dengan maksimal untuk belajar....belajar....dan belajar. Setelah waktuku untuk belajar cukup, aku segera menutup buku-buku, aku tata rapi di meja sudut kamarku. Sebelum tidur, aku akan membuka sebentar laptopku untuk mempersiapkan materi pembelajaran untuk peserta didikku esok harinya. Ketika aku buka laptop itu, aku terkejut. Dinginya malam tidak menyurutkan keringatku bertetesan keluar, tidak membuat surut jantungku untuk tetap  berdetak kencang, dan tidak menghentikan mulutku berucap istigfar. Laptopku tiba-tiba tidak bisa dibuka, mati mendadak tanpa ada peringatan. Aku mencoba mengutak-atik supaya bisa dihidupkan, tetapi setelah beberapa waktu tetap tidak bisa. Aku menyerah. Kuletakkan laptopku dengan penuh harapan pagi harinya dapat dihidupkan kembali, karena mungkin selama ini kelelahan. Aku merebahkan badanku dengan penuh harapan.

              Suara ayam berkokok di belakang rumahku membangunkanku di pagi itu. Aku menggeliat sejenak, melenturkan otot-ototku dari yang kaku-kaku. Rasanya baru saja aku memejamkan mataku, tetapi harus segera terbuka lebar dan segera beraktivitas seperti biasa. Yang aku lakukan setelah itu adalah segera menghidupkan laptopku. Nihil hasilnya, tetap mati tidak bisa dihidupkan. Segera aku bergegas di dapur menyiapkan semua kebutuhan suami dan anak untuk pergi ke sekolah. Setelah semua kewajibanku di pagi hari selesai, aku bersiap-siap mengajar. Yang berbeda pada hari itu adalah tanpa ada laptop hidup di rangsel hitamku yang selalu setia menemaniku. Hari itu juga setelah selesai jam mengajar, aku bergegas ke tempat service laptop yang tidak jauh dari sekolahku. Aku tinggal, agar mereka bisa memeriksa dengan detail kerusakan pada laptopku. Sore harinya, aku sudah mendapatkan kabar, kabar tidak menyenangkan bahwa laptopku benar-benar mati tidak bisa dihidupkan. Ada beberapa mesinnya yang sudah tidak bisa terselamatkan. Bagian mana, aku tidak paham. Yang jelas laptop mati dan hardisk yang ada di dalamnya diambil dan dibuat eksternal. Beruntunglah semua data bisa terselamatkan. Sampai rumah aku menceritakan semua kepada suami dan anakku. Suamiku mengalah, aku bisa meminjam laptopnya. Anakkupun demikian, “ibu....ngagem notebookku wae”. Akhirnya aku meminjam notebook anakku saja dengan beberapa alasan. Keesokan harinya aku gunakan notebook itu. Tiba-tiba mendadak mati tanpa alasan. Aku mencoba menghidupkan kembali, alhamdulillan bisa hidup dan aku gunakan lagi. Beberapa saat kemudian mati kembali. “Ada apakah ini?” Mungkin karena notebook lama yang jarang digunakan. Segeralah ku bawa ke tempat service. Dicek semuanya dan sudah bisa digunakan. Sampai rumah kembali aku gunakan. Beberapa saat hidup akhirnya mati kembali. “Kenapa ini?” Aku hanya bisa menghembuskan nafas dalam-dalam. Hingga akhirnya, aku bercerita dengan teman sekolahku dan beliau mengatakan bahwa aku bisa pinjam laptop sekolahan. Bergegaslah aku ijin Bapak Kepala Sekolah. Aku bisa pinjam aset sekolah sampai kapan saja selama aku masih membutuhkan. Aku diberi pinjaman laptop terbaru dengan mesin dan kecepatan yang jauh lebih unggul dari yang standar. Senangnya aku pada saat itu.  Aku bisa membawa laptop sekolah dengan tulisan tinta putih nomor kode-kode inventarisasi yang memenuhi dasar laptop yang akan aku bawa lomba ke nasional. Ada setumpuk rasa sedih dan bersyukur kala itu. Sedih karena laptop yang sudah bertahun-tahun menemaniku akhirnya harus mati meninggalkanku. Sedih karena aku belum bisa membeli sebuah laptop baru karena semua dana masih terfokus untuk persiapan ke nasional. Tetapi mungkin juga aku penuh harapan, jika aku menang akan diberi laptop baru atau aku akan diberi saku yang bisa untuk membeli laptop baru. Selain sedih, aku juga sangat bersyukur. Laptop mati pada saat semua berkas-berkasku sudah siap dan sudah kukirimkan. Betapa aku tidak bisa membayangkan, jika laptop mati sebelum semuanya selesai. Inilah bukti yang sekian kali dan tak terhingganya bahwa Allah SWT, sangatlah menyayangiku hambanya yang masih jauh dari kata takwa.

              Malam semakin larut. Aku harus segera tidur kala itu. Tetapi masih belum bisa. Aku sangat gelisah. Kulihat tas koper, roll benner, jaket, dan semuanya sudah siap tinggal membawa. Paginya dengan jam penerbangan 06.45 WIB, aku harus terbang menuju Hotel Aston Jakarta. Ya, pada hari itu mulailah pelaksanaan lomba Guru Berprestasi Nasional. Kegelisahanku pada malam itu terjadi karena jam 02.00 WIB dini hari, aku harus berangkat dari rumahku menuju bandara Adisutjipto, karena jarak dari rumahku kurang lebih 2 jam. Ak takut ketinggalan pesawat, oleh karena itu aku harus mengawalinya sepagi mungkin. Dengan disertai tangisan anakku dan tentu saja doa darinya, aku berangkat menuju bandara. Sesampainya di sana, belum ada satupun TIM Gupres DIY yang sudah hadir. Sambil menunggu mereka, segera aku angkat telpon, berpamitan lagi dengan orang tuaku untuk meminta doa restu. Setelah itu teman-teman berdatangan dan kami siap terbang.

              Proses 4 hari di Jakarta, begitu sangat bermakna. Aku bertemu dengan teman-teman yang sangat hebat. Aku berjumpa dengan teman-teman yang sangat baik dan penuh persaudaraan. Bahkan kami 34 orang wakil dari tiap-tiap propinsi se-Indonesia sepakat, tidak ada saingan, tidak ada lawan, tidak ada siapa yang paling hebat dan siapa yang paling pintar. Hanya ada keakraban dan kehangatan, walaupun kami berlomba untuk membawa nama propinsi kami masing-masing. Sederetan tes dan kegiatan dapat aku lalui dengan lancar dan dalam keadaan sehat, walaupun sedikit flu dan panas dalam. Akhirnya tibalah malam itu. Sebuah acara puncak pengumuman yang diselenggarakan di Hotel Sahid. Semua berkumpul, dari kategori guru, kepala sekolah, dan pengawas berprestasi dan berdidikasi. Semua yang hadir terlihat bergembira ria, tetapi mungkin di hati sedikit gemetar karena masih menjadi tebakan siapakah yang menjadi juaranya. Kala itu, aku sudah merasa sebagai pemenang, karena aku  sudah melaksanakan dengan terbaik dan optimal. Untuk predikat aku juara, aku hanya bisa berserah diri pada-Nya. Semua temanku di 34 propinsi adalah hebat. Semua mempunyai prestasi dan karya-karya yang luar biasa, sehingga tidak sedikitpun terbesit dalam pikiranku bahwa akulah bisa mendapatkan juara.

              Proses menunggu pengumuman malam itu serasa begitu lama, tetapi pada akhirnya, pembawa acara menyampaikan bahwa sebentar lagi adalah waktu yang dinanti-nantikan yaitu pengumuman kejuaraan. Dimulailah dari juara ke-3. Setiap kategori satu persatu dibacakan. Ketika sampailah pada  juara ke-3 kategori guru berprestasi SMP, nama  temanku Ibu Nia dari Aceh dipanggil. Kami bersorak penuh kebahagiaan, walaupun bukan namaku yang disebut, aku ikut berbahagia dan senang. Itulah hasil dari perjuangan Ibu Nia dari Aceh. Selanjutnya predikat juara ke-2. Setelah juara ke-2 guru berprestasi SD disebutkan, maka giliran juara ke-2 guru berprestasi SMP yang akan disampaikan. Betapa kagetnya aku, nama Bethy Mahara Setyawati dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disebut sebagai juara ke-2 guru berprestasi SMP tingkat nasional tahun 2019. Semua teman yang ada didekatku berhamburan memberikan selamat untukku, tidak terkecuali guru-guru dari Yogyakarta yang ada di dekatku menghampiriku untuk memberikan selamat. Hanya ada rasa haru dan bahagia. Aku maju di panggung yang sangat besar. Setiap langkahku hanya ada kata alhamdulillah.....alhamdulillah....alhamdulillah. Aku bersyukur kepada-Nya atas pemberian hadiah. Di dalam hati aku berterima kasih kepada semuanya, kepada orang tuaku, suami dan anakku, semua pejabat Dikpora, teman-teman guru, peserta didikku, teman-teman seperjuanganku di ajang guru berprestasi dari berbagai propinsi. Setelah diumumkan juara ke-2, selanjutnya yang dinanti-nantikan adalah pengumuman juara pertama. Alhamdulillah Ibu Khoiriah dari Lampung sebagai sang juaranya.

              Akhirnya selesailah sudah tugasku di ajang lomba guru berprestasi SMP tingkat nasional tahun 2019 kala itu. Aku bisa menjadi pemenang dan sekaligus menjadi juara. Aku telah berusaha yang terbaik dan maksimal dan peringkat ke-2 nasional, adalah hadiah dan anugrah terindah yang kesekian kalinya yang pernah kumiliki. Hanya ada ucapan syukur yang takterhingga, yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata, yang tak bisa aku tuliskan di selembar kertas putih seperti semudah aku menuliskan kata-kata dengan aksara Jawa ataupun dengan bahasa Jawa. Hanya ada sebuah cerita yang semoga bermakna dan bermanfaat, yang aku tuangkan didalam sebuah Kisah Guru Bahasa Jawa dari Yogyakarta.           

              Aku tidak boleh berhenti sampai ajang lomba guru berprestasi tingkat nasional tahun 2019.  Aku harus tetap berupaya memberikan terbaik dan bermanfaat untuk diriku, keluargaku, sekolahku, masyarakat, dan dunia pendidikan.

              Pesan untuk anak-anakku di seluruh nusantara, “Ngudia kawruh utama nganti sundhul langit, amarga iku sanguning ngaurip. Datan pisan-pisan ngungkurake, amarga iku gawe rahayuning sasama. Dadia bocah kang duwe tindak-tanduk utama, tansah nandur wiji keli. Nandur kabecikan ndhedher kautaman. Tansaha bekti mring wong tuwa lan gurumu, supaya uripmu tansah migunani kanggo kulawarga, negara, lan agama. Mugi-mugi Gusti Allah SWT, tansah paring rahayu ing samubarang tumindak aneng donya tumekaning akherat,” yang artinya carilah ilmu sampai menembus langit, karena itu bekal hidup. Jangan sekali-kali mengelak, karena ilmu itu akan membuat kesejahteraan untuk sesama. Jadilah anak yang mempunyai sikap yang utama, yang selalu menanamkan kebaikan dan menyebarkan keutamaan. Berbaktilah terhadap orang tua dan guru. Semoga Allah SWT selalu memberikan keselamatan di setiap langkah yang kamu lakukan, di dunia dan akherat.

               “Wis katon cetha wela-wela, rembulan lan lintang iku dadi pepadhanging ratri. Sang pratanggapati dadi pepadhanging rahina. Kawruh lan piwulang becik iku dadi pepadhanging jagad.  Lan wong kang duwe kaprigelan ing samubarang elmu lan temtu wae unggah-ungguh utama, bakal dadi pepadhanging kadang karuh, kulawarga, lan bangsane. Kaya dene damar kang tansah gawe pepadhang.” yang artinya sudah terlihat jelas bahwa bulan dan bintang adalah penerang di malam hari. Matahari adalah penerang di waktu siang. Ilmu dan ajaran yang baik adalah penerang dunia. Dan orang yang mempunyai keterampilan di semua bidang ilmu akan menjadi penerang untuk saudara-saudaranya, keluarganya, dan bangsanya. Seperti lampu dan sinar yang selalu memberi penerangan. Insya Allah, atas ijin dan ridlo Allah SWT, kalian anak-anakku adalah damar kang tansah gawe pepadhang.

              Akhirnya, tidak ada hentinya ucapan terima kasih kepada Allah SWT, orang tua dan adikku, suami dan anakku, Bapak-bapak Kepala Sekolahku, teman-teman guru, Dinas Dikpora, siswa-siswaku, dan semuanya.

Terima kasih dan penuh cinta, dari Bethy Mahara Setyawati, Guru Bahasa Jawa dari Yogyakarta.

Bagikan artikel ini:

1 Komentar

"Luar biasa..ada kalanya menangis, ada kalanya tersenyum bahkan tertawa, dan bangga saat membaca kisah ini."
03 Dec 2021 19:24 Dewi Megandari

Beri Komentar

Sambutan

- Kepala Sekolah -

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan kesehatan, kesempatan, rahmat, dan…

Berlangganan
Banner